"MENGAPA PENDIDIKAN DI INDONESIA LEBIH MENGUTAMAKAN
ANGKA DARIPADA POTENSI?"
Penulis: Randi Suranto
I. Pendahuluan
Pendidikan adalah proses yang melibatkan berpikir, memahami, dan mengaktualkan potensi diri untuk membentuk kehidupan yang bermakna, bernilai, dan manusiawi. Sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran filsafat pendidikan, aktivitas berpikir tidak hanya membentuk karakter individu, tetapi juga berperan dalam transformasi sosial dan budaya. Berpikir memungkinkan individu untuk menilai realitas dan memaknai hidup, yang kemudian menjadi dasar untuk pengembangan pendidikan yang lebih luas. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan, melainkan tentang bagaimana menjadikan hidup lebih bermakna dan mengembangkan potensi manusia secara menyeluruh.
Namun,
dalam kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia masih sangat terfokus pada
angka dan nilai ujian sebagai ukuran utama keberhasilan. Nilai akademik sering
kali menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menilai kecerdasan dan kapasitas
seorang siswa, sementara aspek lain seperti kreativitas, keterampilan sosial,
dan potensi non-akademik sering kali terabaikan. Fenomena ini menjadi semakin
jelas ketika kita melihat sistem pendidikan yang didominasi oleh ujian
nasional, ranking sekolah, dan penekanan pada hasil yang terukur secara kuantitatif.
Hal
ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam cara kita memandang pendidikan
di Indonesia. Pendidikan seharusnya lebih dari sekadar pencapaian angka di atas
kertas, tetapi juga harus memperhatikan potensi holistik setiap individu.
Terkadang, sistem yang terlalu berfokus pada angka justru membatasi kesempatan
siswa untuk berkembang secara maksimal, karena mereka terjebak dalam paradigma
bahwa nilai tinggi adalah satu-satunya cara untuk dianggap sukses. Dalam
konteks ini, gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang lebih humanistik, yang
mengutamakan pengembangan potensi secara menyeluruh, justru menjadi penting
untuk diperhatikan, meskipun harus diadaptasi dengan kondisi zaman yang terus
berkembang.
Latar
belakang inilah yang mengilhami pertanyaan kritis mengenai mengapa pendidikan
di Indonesia lebih mengutamakan angka daripada potensi. Untuk itu, penting
untuk menggali lebih dalam apakah fokus utama pada angka dalam pendidikan saat
ini masih relevan dan bagaimana kita bisa menyeimbangkan pengembangan potensi
dengan pencapaian akademik dalam sistem pendidikan yang lebih progresif dan
inklusif.
II. Sejarah dan Sistem Pendidikan Indonesia
Sejarah Pendidikan di Indonesia
Pendidikan di Indonesia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi di setiap era. Pada masa kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit, pendidikan umumnya bersifat informal dan hanya tersedia bagi kalangan bangsawan atau elit masyarakat, dengan guru yang mengajarkan berbagai ilmu kepada murid secara langsung. Namun, ketika penjajahan Belanda dimulai, sistem pendidikan formal diperkenalkan, meskipun hanya untuk kalangan kolonial dan terbatas pada orang Belanda. Sementara itu, masyarakat pribumi dianggap kelas kedua dan diabaikan dalam hal pendidikan. Setelah kemerdekaan Indonesia, sistem pendidikan mengalami transformasi besar. Salah satu titik balik penting terjadi ketika Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, yang bertujuan untuk menyediakan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya untuk elit. Seiring berjalannya waktu, Indonesia terus berusaha meratakan akses pendidikan, dengan dimulainya program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1975 dan reformasi pendidikan pada era 1998 yang membawa perubahan besar dalam kurikulum dan sistem pendidikan.
Sistem Pendidikan yang Fokus pada Ujian
Sistem pendidikan di Indonesia telah lama dikenal dengan fokus yang kuat pada ujian sebagai indikator utama keberhasilan belajar. Pendekatan ini terlihat jelas pada ujian nasional yang menjadi tolok ukur utama bagi siswa di tingkat sekolah dasar hingga menengah. Dalam sistem ini, angka atau nilai ujian menjadi tolak ukur yang menentukan kelulusan, dan sering kali dianggap sebagai satu-satunya pencapaian yang diakui dalam dunia pendidikan. Meskipun ujian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan akademik siswa, sistem ini sering kali menimbulkan tekanan yang besar bagi siswa, serta mengesampingkan potensi-potensi lain seperti kreativitas, keterampilan sosial, dan kecerdasan emosional. Fokus berlebihan pada angka ujian ini juga dapat menghambat perkembangan karakter dan keterampilan hidup yang seharusnya juga menjadi bagian integral dari pendidikan. Sebagai dampaknya, banyak siswa yang lebih terfokus pada pencapaian angka yang tinggi ketimbang mengembangkan diri mereka secara menyeluruh, yang dapat berpengaruh pada kesiapan mereka dalam menghadapi tantangan dunia nyata di luar pendidikan formal.
III. Mengapa Angka Menjadi Prioritas?
Kultur Evaluasi Berbasis Nilai
Kultur evaluasi berbasis nilai merujuk pada penekanan pentingnya aspek budaya dalam sekolah yang memengaruhi cara evaluasi dilakukan terhadap kualitas pendidikan. Dalam konteks ini, kultur sekolah mencakup nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang terbentuk dalam komunitas sekolah, yang bisa mendukung atau menghambat peningkatan kualitas pembelajaran. Proses evaluasi yang efektif memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap kultur yang ada di sekolah, termasuk bagaimana siswa dan guru berinteraksi, serta bagaimana nilai-nilai dan keyakinan yang ada dapat mempengaruhi hasil pembelajaran. Penerapan evaluasi berbasis nilai akan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif dan menghilangkan hal-hal yang menghambat proses pendidikan.
Peran Akreditasi dan Ranking Sekolah
Akreditasi dan ranking sekolah memainkan peran penting dalam menentukan kualitas pendidikan di Indonesia. Akreditasi yang diberikan oleh lembaga resmi menilai sejauh mana sekolah memenuhi standar pendidikan yang ditetapkan, sementara ranking sekolah memberikan gambaran tentang posisi sekolah dalam pencapaian akademik. Meskipun kedua aspek ini dapat memberi motivasi bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas, mereka sering kali lebih berfokus pada pencapaian angka dan hasil ujian daripada aspek lain yang lebih holistik dalam pendidikan. Hal ini dapat menciptakan tekanan berlebihan bagi sekolah untuk mengejar peringkat atau status tertentu, yang berpotensi mengabaikan aspek-aspek penting seperti pengembangan karakter dan keterampilan non-akademik siswa.
Kurangnya Sistem Penilaian Holistik
Sistem penilaian di Indonesia yang cenderung mengutamakan ujian standar dan angka sebagai ukuran utama keberhasilan pendidikan mengabaikan aspek penting lainnya dari perkembangan siswa, seperti keterampilan sosial, emosional, dan kreativitas. Kurangnya penilaian holistik menyebabkan fokus yang berlebihan pada pencapaian akademis yang terlihat di atas kertas, sementara kualitas karakter dan pengembangan potensi siswa secara keseluruhan sering kali terabaikan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, penting untuk mengembangkan sistem penilaian yang mencakup berbagai aspek perkembangan siswa secara lebih menyeluruh, tidak hanya berdasarkan pada hasil ujian semata.
IV. Dampak Negatif dari Fokus Berlebihan pada Angka
Kehilangan Kreativitas dan Potensi Siswa
Kehilangan kreativitas dan potensi siswa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya stimulasi kreatif, sistem pendidikan yang terfokus pada tes dan hasil akademik, serta ketakutan akan kegagalan dan penilaian negatif. Lingkungan yang terlalu terstruktur, batasan yang menghambat eksplorasi, serta kurangnya dukungan sosial juga memperburuk situasi ini. Selain itu, ketergantungan berlebihan pada teknologi dapat mengalihkan perhatian siswa dari kegiatan yang merangsang imajinasi dan kreativitas. Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, memberikan kebebasan berekspresi, dan mendorong siswa untuk mengeksplorasi minat serta bakat mereka, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Stres dan Tekanan Psikologis
Stres dan tekanan psikologis pada anak-anak sering kali muncul akibat lingkungan yang terlalu terstruktur dan fokus pada hasil akademik, yang membatasi kebebasan mereka untuk berpikir kreatif dan bereksplorasi. Ketakutan akan kegagalan, penilaian negatif, serta tuntutan tinggi untuk mencapai standar akademik dapat menciptakan tekanan yang besar pada anak-anak, mengurangi kepercayaan diri mereka. Selain itu, kurangnya dukungan sosial dari keluarga, teman sebaya, dan guru juga memperburuk stres yang mereka rasakan. Mengatasi stres ini membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan, termasuk menciptakan lingkungan yang mendukung, memberikan kesempatan untuk berinovasi tanpa rasa takut gagal, serta mendukung perkembangan emosional dan sosial anak secara seimbang.
Meningkatnya Ketimpangan dalam Pendidikan
Meningkatnya ketimpangan dalam pendidikan sering kali disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya akses terhadap sumber daya kreatif dan stimulasi yang mendukung perkembangan siswa secara merata. Siswa dari latar belakang sosial ekonomi yang berbeda sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal fasilitas belajar, dukungan keluarga, dan kesempatan untuk mengembangkan kreativitas. Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada hasil akademik dan tes standar juga dapat memperburuk ketimpangan, karena mengabaikan potensi dan minat unik setiap anak. Untuk mengatasi ketimpangan ini, dibutuhkan pendekatan pendidikan yang lebih inklusif, mengintegrasikan kreativitas dan pengembangan emosional, serta memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa untuk berkembang tanpa dibatasi oleh keadaan sosial atau ekonomi mereka.
V. Potensi yang Terabaikan: Apa yang Seharusnya Diperhatikan?
Keterampilan Abad 21
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan dinamika global, pendidikan saat ini dihadapkan pada kebutuhan untuk mempersiapkan peserta didik dengan keterampilan abad 21 yang lebih luas daripada sekadar pengetahuan akademis. Keterampilan seperti pemecahan masalah, kreativitas, literasi digital, dan kemampuan berkolaborasi menjadi sangat penting untuk menghadapi tantangan yang kompleks di masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus berfokus pada pengembangan keterampilan ini agar peserta didik tidak hanya siap secara akademis, tetapi juga dapat beradaptasi dengan perubahan zaman. Pendidikan holistik menjadi pendekatan yang relevan karena melibatkan pembelajaran yang mengintegrasikan aspek intelektual, sosial, emosional, dan karakter, guna membentuk individu yang kompeten dan kreatif di era digital.
Pendidikan Karakter dan Sosial
Pendidikan karakter dan sosial memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki nilai-nilai moral, sosial, dan emosional yang kuat. Dalam pendidikan holistik, penekanan diberikan pada pengembangan karakter yang baik, kemampuan berkolaborasi, serta interaksi sosial yang positif. Ini membantu peserta didik untuk mengembangkan empati, tanggung jawab sosial, dan kemampuan untuk bekerja dalam tim, yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial dan profesional. Melalui pendekatan ini, peserta didik tidak hanya belajar tentang pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan membangun hubungan yang harmonis dalam masyarakat
Pendekatan Pendidikan Holistik
Pendekatan pendidikan holistik memiliki potensi yang terabaikan dalam pengembangan individu secara menyeluruh, mencakup aspek intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual. Meskipun sering kali terfokus pada pengajaran akademik, pendidikan holistik berfokus pada pembentukan karakter dan nilai moral peserta didik, serta mendorong mereka untuk menjadi individu yang bertanggung jawab. Namun, pendekatan ini masih kurang dimanfaatkan secara maksimal, terutama dalam sistem pendidikan yang sering terpusat pada pengajaran berbasis kurikulum dan hasil ujian, mengabaikan pentingnya pengembangan keseimbangan dalam semua aspek kehidupan individu. Dalam era digital, hal ini semakin penting karena peserta didik tidak hanya perlu kompeten dalam pengetahuan akademis, tetapi juga dalam keterampilan sosial dan emosional yang dapat membantu mereka menghadapi tantangan masa depa..
VI. Solusi dan Rekomendasi
Pengembangan Kurikulum yang Lebih Inklusif
Dalam menghadapi tantangan pendidikan di era digital, pengembangan kurikulum yang lebih inklusif menjadi sangat penting. Kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan dan keberagaman peserta didik, mencakup tidak hanya aspek akademik, tetapi juga aspek keterampilan abad 21 seperti literasi digital dan kemampuan adaptasi terhadap teknologi. Pendidikan holistik mengharuskan integrasi berbagai pendekatan untuk memastikan setiap individu dapat mengembangkan potensi terbaiknya, termasuk dalam penguasaan teknologi, keterampilan sosial, dan pengembangan karakter. Kurikulum yang inklusif dapat menciptakan ruang pembelajaran yang lebih adaptif dan relevan bagi semua peserta didik, memungkinkan mereka untuk berkompetisi secara global sambil tetap menjaga nilai-nilai lokal dan tradisional.
Perubahan dalam Sistem Penilaian
Perubahan dalam sistem penilaian sangat diperlukan untuk mencerminkan tujuan pendidikan holistik yang lebih menyeluruh. Penilaian tidak lagi hanya berfokus pada hasil akademis, tetapi juga pada pengembangan keterampilan kritis, kreativitas, dan kemampuan sosial peserta didik. Dalam era digital, penilaian berbasis teknologi dapat digunakan untuk memberikan umpan balik yang lebih cepat dan personal, serta memantau perkembangan siswa dalam berbagai aspek. Selain itu, penilaian formatif dan autentik yang melibatkan proyek atau portofolio dapat menggantikan ujian tradisional untuk lebih menggambarkan kemampuan praktis dan aplikasi pengetahuan peserta didik dalam kehidupan nyata, mendukung mereka dalam mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan di dunia digital.
Pelatihan untuk Guru dan Pengawasan Pendidikan
Pelatihan untuk guru dan pengawasan pendidikan menjadi faktor kunci dalam mewujudkan pendidikan holistik yang efektif di era digital. Guru harus diberikan pelatihan berkelanjutan untuk menguasai teknologi pendidikan terbaru dan metode pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan siswa yang beragam. Selain itu, guru perlu dibekali dengan keterampilan dalam mengintegrasikan nilai-nilai karakter dan tanggung jawab sosial dalam pembelajaran. Pengawasan pendidikan yang intensif juga diperlukan untuk memastikan implementasi kurikulum yang efektif, serta pemanfaatan teknologi secara optimal dalam proses belajar mengajar. Dengan dukungan pelatihan yang tepat dan pengawasan yang berkelanjutan, para pendidik dapat mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan dunia digital dengan keterampilan dan karakter yang solid.
VII. Kesimpulan
Kesimpulannya, meskipun pendidikan di
Indonesia memiliki tujuan untuk mencetak individu yang berkualitas, sistem yang
terlalu fokus pada angka dan hasil ujian sering kali mengabaikan potensi
holistik siswa. Hal ini menyebabkan terhambatnya pengembangan kreativitas,
keterampilan sosial, dan karakter yang seharusnya menjadi bagian integral dari
pendidikan. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam pendekatan
pendidikan, mulai dari pengembangan kurikulum yang lebih inklusif dan relevan
dengan kebutuhan zaman, perubahan dalam sistem penilaian yang lebih holistik,
hingga pelatihan berkelanjutan bagi para guru serta pengawasan pendidikan yang
lebih intensif. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya akan berfokus pada
pencapaian angka, tetapi juga pada pengembangan potensi siswa secara
menyeluruh, mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan abad 21 dengan
keterampilan yang lebih lengkap dan adaptif. Pendekatan pendidikan holistik ini
sangat penting untuk menciptakan individu yang kompeten, kreatif, dan
bertanggung jawab dalam kehidupan sosial dan profesional.
Sumber:
Samho,
Bartolomeus, SS, M.Pd, & Yasunari, Oscar, SS, MM. (2010). Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Tantangan-Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Lembaga
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/12663-ID-konsep-pendidikan-ki-hadjar-dewantara-dan-tantangan-tantangan-implementasinya-di.pdf
Owa,
Clarasatin Rera. (2024). Perkembangan Pendidikan di Indonesia: Dari
Masa ke Masa. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Diakses
dari https://fib.unair.ac.id/fib/2024/02/20/perkembangan-pendidikan-di-indonesia-dari-masa-ke-masa
Siswanto, S. (2013). Pengembangan Model
Evaluasi Kultur SMA. Jurnal
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, 17(1), 88-107. https://doi.org/10.21831/pep.v17i1.1363
Praditya, Sinta. "Penyebab Tidak
Berkembangnya Kreativitas pada Anak dan Solusi Meningkatkan Kreativitasnya
Sebagai Modal Kesuksesan." Kompasiana.com,
20 Mei 2023. https://www.kompasiana.com/sinta10952/6468e50308a8b523471b5d72/penyebab-tidak-berkembangnya-kreativitas-pada-anak-dan-solusi-meningkatkan-kreativitasnya-sebagai-modal-kesuksesan
Pare, A., & Sihotang, H. (2023).
Pendidikan Holistik untuk Mengembangkan Keterampilan Abad 21 dalam Menghadapi
Tantangan Era Digital. Jurnal Pendidikan
Tambusai, 7(3), 27778–27787
Tidak ada komentar:
Posting Komentar